Indonesia-EFTA Bilateral Trade?

Pengesahan Rekomendasi Studi Bersama Mengenai kemungkinan FTA Indonesia-EFTA

Sumber: Ditjen KPI

Davos – Swiss, 27 Januari 2007 Di sela-sela ajang World Economic Forum di Davos, Menteri Perdagangan RI, Mari Elka Pangestu, melaksanakan pertemuan bilateral dengan Menteri-menteri dari empat negara anggota EFTA (Swiss, Norwegia, Liechtenstein dan Iceland). Pertemuan tersebut ditujukan untuk mengesahkan laporan Joint Study Group (JSG) yang merekomendasikan tentang kelayakan membentuk Comprehensive EFTA – Indonesia Trade Agreement (CEITA) yang berdasarkan pada prinsip trade liberalization, trade facilitation dan cooperation serta membahas langkah selanjutnya untuk kemungkinan memulai perundingan CEITA.

Menteri Perdagangan Luar Negeri Swiss sebagai wakil dari pihak EFTA mengatakan: “Negara-negara EFTA menyambut baik rekomendasi JSG yang yakin bahwa CEITA akan berpotensi untuk meningkatkan perdagangan dan pertumbuhan ekonomi kedua pihak. Untuk itu EFTA States berharap bahwa kedua pihak siap untuk melaksanakan negosiasi CEITA dalam waktu dekat.”

Menteri Perdagangan Mari Pangestu juga menyampaikan bahwa “Indonesia menyambut baik hasil rekomendasi JSG tersebut namun menyatakan belum bisa memberikan komitmen untuk memulai negosiasi saat ini, karena masih perlu mensosialisasikan studi kelayakan tersebut kepada para pemangku kepentingan, diantaranya instansi sektoral, akademisi, dan dunia usaha agar mendapatkan dukungan, seperti yang dilakukan dengan Jepang ketika memulai perundingan Economic Partnership Agreement(EPA).”

Selain membahas hasil studi bersama, Menteri Perdagangan juga mengusulkan kerjasama yang lebih konkrit dimana kedua pihak pemerintah menfasilitasi pertemuan kedua dunia usaha dengan intens agar masing-masing dunia dapat saling kenal, dan saling menjajaki potensi bisnis dan peluang bisnis di kedua negara. Hal tersebut dapat dilakukan dengan membentuk suatu wadah atau working group, sebagai contoh Working Group on Trade and Investment. Menteri Perdagangan juga menambahkan, sebagai langkah awal Indonesia akan menggelar forum bisnis Indonesia-EFTA yang akan mengundang pebisnis dari negara-negara EFTA.

Pihak EFTA menyetujui usul pembentukan “Working Group on Trade and Investment” dan sepakat agar kedua pihak merumuskan prinsip dan modalitas kerja dari working group tersebut. Hal tersebut akan dirumuskan oleh pejabat tingkat teknis.

Selain hal tersebut di atas, kedua pihak sepakat untuk melakukan kerjasama dalam bentuk capacity building dan technical cooperation. Indonesia ingin memanfaatkan potensi negara-negara EFTA yang memiliki keunggulan di bidang-bidang tertentu, misalnya:

§ pendidikan atau kursus di University of geneve dan World Trade Institute, Swiss;

§ bidang kesehatan, lingkungan hidup, minyak bumi dan perikanan tradisional di Norwegia;

§ bidang geothermal dan perikanan di Islandia (Iceland)

Informasi lebih lanjut dapat menghubungi:

Direktorat Jenderal Kerjasama Perdagangan Internasional

Direktorat Kerjasama Bilateral II

Jl. M.I. Ridwan Rais No.5 Blok II, Lt.6 Jakarta 10110
Telp.
3858171 Pes. 1142
Fax. 3858206

Tanggapan/ pertanyaan / komentar sebagai masukan dapat dikirimkan kepada:

arifrw@depdag.go.id


yanto_kpi@depdag.go.id


12 respons untuk ‘Indonesia-EFTA Bilateral Trade?

  1. maaf kalau boleh bertanya, isi blog ini, kopi pes dari artikel situs berita?

    Jawab:

    Terimakasih atas pertanyaanya.

    Bung Calvin ysh, kopi paste hanya salah satu alternatif dari isi blog yang kemungkinan menarik untuk dikomentari bersama-sama dan akan ditempatkan pada halaman utama. Sementara di halaman lain akan berupa gudang ilmu dari nara sumber sesuai menu yang ada.

    Demikian jawaban kami.

    Salam

    Admin

    Suka

  2. ini blog yang nggak jelas
    isinya nggak original
    payah banget
    buat blog ini justru dapat merusak kredibilitas pusat kajian eropa itu sendiri

    Jawaban:
    Verdinand Yth.
    Terimakasih atas komennya yang membangun. Blog tidak harus hasil tulisan sendiri. Yang penting pengunjung dapat informasi dan ilmu dari blog tersebut. Yang jauh lebih penting adalah tujuan dibuatnya blog. Akan tetapi seiring waktu blog ini akan terus disempurnakan sehingga dapat lebih bermanfaat lagi.

    Peace dan selamat belajar
    Admin

    Suka

  3. Gue heran.. kenapa Indonesia kerjasamanya ama EFTA ya? Padahal EFTA kan ndak ada apa-apanya di Eropa. Gue curiga nih para politisi di Indonesia sekarang ndak punya keinginan menjalin hubungan lebih dekat dengan UE. Padahal kalau diteliti secara statistik, UE menempati urutan kedua setelah Jepang sebagai negara tujuan ekspor Indonesia.

    Note: Blognya bolehlah, walau seperti kurang terurus. Komenya verdinand terkesan sedikit jealous. Mestinya saling dukung dan kasih masukan buat sesama pemerhati HI khususnya Kajian Eropa. Indonesia nggak maju-maju karena orang macam ini nih.. (sorry bro!)

    Jawaban:

    Sdr. Mersa,

    Dalam hal ini saya dapat mengemukakan alasan berikut:
    1. Dengan memahami bahwa Indonesia relatif baru dalam kancah perjanjian bilateral dagang, mungkin sekali Indonesia belum berani bermain api dengan UE yang merupakan pengekspor terbesar dunia. EFTA bisa menjadi lahan latihan bagi Indonesia sebelum menjajaki perjanian dengan ekonomi yang lebih besar.

    2. Kemungkinan UE memang tidak berkeinginan untuk menggagas perjanjian bilateral untuk ASEAN, karena memang memiliki strategi yang berbeda dengan Jepang dan US di Asia Timur. Sepertinya UE hanya akan menjajaki kemungkinan untuk menjalin perjanjian trans-regional dengan ASEAN. Karena lebih efisien, sepadan dan pangsa pasar yang lebih besar. Hanya saja, ASEAN kerangka institusinya belum sekuat UE dan sistem pengambilan keputusanya belum sedemokratis UE. Di tubuh ASEAN sendiri ada yang secara moral berkhianat dengan sepihak melakukan perjanjian bilateral terutama Singapura. Dan memang secara hukum, Singapura tidak salah karena ASEAN bukanlah Custom Union atau Single Market seperti UE.

    Sekian
    O.N.

    Suka

  4. Bukanya pada diskusi malah ngejelek-jelekin. Tipikal Indonesia nih. Aku tu setuju kalau sudah saatnya kita-kita menguasai ilmu wilayah lain atau negara lain, termasuk data-data penting mereka. Selama ini studi tentang negara kita sangat gencar, semua itu hanya untuk menguasai sumber daya di negara kita.

    Untuk artikel FTA ini.. hmmm. Indonesia memang “new starter” di bidang “bilateral trade agreement (bta)”. Selain ama ASEAN, Indonesia baru teken bta dengan Jepang tahun ini (“Economic Partnership Agreement”). Ada pro dan kontra sih tentang EPA Indonesia-Jepang. Akan tetapi memang sangat menguntungkan Jepang dari segi “trade balance”. Kenapa? Karena perjanjian di atas banyak menyinggung masalah jaminan investasi bagi investor Jepang.

    Mungkin EPA jepang-indonesia bisa dijadikan studi kasus dulu sebelum menjalin “FTA” atau “EPA” dengan negara lain. Aku sih tidak membela siapa-siapa selain neraca perdagangan RI yang tanpa perjanjian-perjanjian itu sudah bagus sekali. So, kenapa buru-buru untuk membuka diri, kalau akan merugikan diri sendiri.

    Sekian

    Babah

    Suka

  5. Sekedar Informasi nih untuk masalah FTA,

    Dari telusuran paper-paper masalah regionalisme berikut kesimpulanya:

    1. Ada perubahan strategi negara maju dalam menyikapi mandeknya jalur multilateralisme dari perjanjian yang sifatnya tariff dan non tarif ke arah integrasi dagang yang lebih dalam (Red. “deeper integration”). Konten dari FTA akhir-akhir ini dan masa depan akan mengarah ke Hak kekayaan intelektual (IPR), liberalisasi bidang jasa (favoritnya negara maju), hukum persaingan, standar tenaga kerja dan teknik lingkungan dan perlindungan terhadap para investor asing. Semua konten ini disebut-sebut sebagai “WTO Plus”.

    2. Dari telaah referensi beberapa jurnal internasional juga ditemukan perbedaan strategi negara adikuasa seperti Jepang, Amerika dan UE dalam hal memilih partner FTA, kebjikan mengambil jalur FTA atau intra-regionalisme serta posisi mereka di Asia kkhususnya. Secara konten rata-rata sama (lihat point 1).

    3. Fitur dari regionalisme juga mengalami perubahan, kalau yang lama lebih melihat kepada level ekonomi negara calon anggota, sekarang sudah campur aduk antara negara berkembang (developing countries), negara miskin (LDC’s), negara industri baru (NICs) dan negara maju (developed countries).

    Saran buat Indonesia:

    1. Mengingat Indonesia memiliki persentase pengangguran yang relative tinggi, sebaiknya pilih liberalisasi sektor padat karya untuk investasi, lindungi sektor yang menyangkut kepentingan publik dan keamanan negara (transportasi, telekomunikasi dsbnya) dan yang lebih penting jangan gunakan rumus-rumus modelling ekonomi yang menyesatkan dalam menganalisa kelayakan FTA tapi pakailah rasio, berkaca diri dan konsultasikan dengan pengusaha lokal di sektor terkait terutama jasa konsultan yang sedang dipreteli pasarnya. Pada kasus Jepang, Kadin mereka sangat dominan dalam mengarahkan strategi pemerintah Jepang untuk EPA atau FTA.

    2. Khusus para pejabat yang bertugas dalam negosiasi, jangan terlena dengan service sesaat pada saat lobi-lobi dan negosiasi di negara partner dagang dan melupakan kepentingan Nasional/bangsa.

    3. Wakil rakyat supaya diberi pengetahuan tentang dampak ratifikasi perjanjian dagang sehingga lebih selektif dalam ratifikasi FTA atau yang sejenis.

    Salam hangat dan tetap semangat!

    Babah

    Suka

  6. Menurut saya yang orang awam. Keputusan tentang kerjasama luar negeri seperti FTA, EPA dsbnya itu lebih banyak dipengaruhi oleh pengusaha lokal dan penguasaha asing (umumnya perusahaan besar yang ingin ekspansi pasar tapi menemukan rintangan alias barriers). Dengan adanya rintangan itu, mereka berusahan untuk mendobraknya dengan jalan ya mendorong pemerintah lokal dan asing untuk setuju untuk mengurangi atau menghapuskan rintangan tersebut.

    Dampak dari kerjasama itu tidak bisa diramalkan dan dihitung secara detail, karena sangat banyak sekali aspek dan variabelnya. Akan tetapi, dari pengalaman negara berkembang biasanya paling dirugikan dari kerjasama tersbut, Kenapa? karena mereka rata-rata tidak siap, terutama perusahaan kecil menengah mereka. Pasar mereka akan diambil alih oleh perusahaan asing yang jauh lebih bagus teknologi dan manajemenya. Bagi para tenaga kerja negara berkembang yang mendapat pendidikan luar negeri atau para buruh sekalian investasi asing akan mendatangkan untung karena akan membuka lapangan kerja bagi mereka yang sebaliknya merugikan tenaga kerja di negara maju (dampak dari offshoring). Makanya sering kita lihat ada demo globalisasi juga di barat.

    demikian, semoga dibaca

    Awam

    Suka

  7. Baru tahu nih ada blog kajian eropa. Maju terusssss

    Sekedar menambahkan pendapat sdr Awam yang sebetulnya bukan awam. hihi..

    Anda tidak menyinggung masalah dampak liberalisasi perdagangan terhadap pengangguran di Indonesia yang angkanya menurut laporan terakhir WTO cukup mengkhawatirkan. Artinya dengan semakin terbukanya pasar bagi pengusaha dan produk asing. Tidak menjamin penyerapan pasar yang cukup. Yang terjadi justru sebaliknya. Menurut saya alasanya adalah para pengusaha besar asing hanya berinvestasi di bidang yang padat teknologi dan mengharapkan bahan baku dan energi yang super merah di negara seperti Indonesia untuk kemudian produknya di ekspor kembali ke luar yang mayoritas di ekspor lagi ke negaranya (jangan sombong dulu kalau neraca perdagangan Indonesia surplus di atas kertas). Selain investasi yang padat teknologi, negara-negara maju sebetulnya punya kekuatan di sektor jasa (services). Kita tahu jasa membutuhkan keahlian yang sangat tinggi. Paling perusahaan jasa asing butuh office boy rajin dan sekretaris cantik saja di Indonesia .. hihihi. Yaa ada sih satu-satu yang direkruit, tapi yang memang bisa banget (high qualified).

    Disamping itu, yang sebetulnya tidak pernah dan tabu dibahas adalah betapa lingkungan kita, apa itu air, udara dan tanah bahkan budaya kita dicemari. Ikan di laut jawa taka layak konsum, begitu juga air, udara yang tak ramah lagi pada paru-paru. Semua ini bagi orang beradap itu tidak ternilai harganya…. Ngitungnya jangan (ekspor+Pajak Penghasilan+peluang kerja) tok. tapi kudu dikurangi (ekspor perusahaan asing+kerusakan lingkungan+pengangguran+diambilnya pangsa pasar pengusaha lokal bidang jasa dan industri bersangkutan). Hitung-hitungan sebetulnya jelimet, tapi dipermudah di meja lobi.. hihi

    Kesimpulanya: keuntungan bagi kita buka pasar dan hapus hambatan lebih dikit dibanding kerugianya. Gitoooo!

    Maaf kalau tak berkenan.. hihi

    Suka

  8. Wallaaaah jadi rameee..

    Tapi begini loh rekan bayu dan awam. Daripada kita menunggu para pengusaha kita siap dulu, mending pasar dibuka aja dan FDI digalakan. Lagian Indonesia bakal dikucilkan kalau tidak ikut dalam perlombaan liberalisasi saat ini (red. “Competitive Liberalization or CL”).

    Logikanya begini; Indonesia itu kan sumber daya alam dan manusianya identik dengan negara-negara tetangga ASEAN lain. Nah.. kalau mereka buka pasar kita tidak.. kita bisa ketinggalan jauh dari segi pertumbuhan ekonomi dan pembangunan. betul nggak?

    Saya rasa pemerintah sudah memperhitungkan untung rugi untuk memasuki lapangan laga liberalisasi (mudah-mudahan). Soalnya sekarang memang sekarang pada berlomba membuka pasar masing-masing, dimana Indonesia adalah tim baru dengan pemain-pemain yang juga baru (menteri dan parlemenya). Wajar kalau nanti bakal terkesan try and error. Awalnya prediksi saya yang berhubungan dengan pernyataan saya sebelumnya adalah sepertinya untuk aman sih Indonesia main nya sama negara-negara kecil dulu, seperti EFTA ketimbang UE, negara-negara berkembang gitu. Akan tetapi dengan telah ditandatanganinya EPA dengan Jepang, sepertinya strategi yang ditempuh sangat berbeda dengan apa yang saya pikirkan sebelumnya.

    Mungkin ada yang bisa merumuskan strategi Indonesia dalam menyikapi “CL” di atas?

    Jawaban:

    Dear Mersa,

    Liberalisasi bersaing adalah strategi mempercepat tebukanya pasar terutama ditargetkan untuk negara-negara yang selama ini belum membuka pasarnya bagi perusahaan-perusahaan asing. Kalau di Indonesia kita mengenal “negative list”. Dengan adanya “negative list” dan belum bagusnya peraturan-peraturan penghambat lain yang bersifat “beyond border regulation” lain seperti hak kekayaan intelektual, peraturan persaingan, jaminan investasi dsbnya. Maka sudah dipastikan, Indonesia dalam bukan penggagas, tapi sebaliknya adalah target dari strategi ini. Karena menjadi target, Indonesia bukan berarti harus menghindar. Karena bisa jadi posisi Indonesia sebagai target malah menuguntungkan stakeholder tertentu di Indonesia. Stakeholder mana saja yang bakal diuntungkan dan seberapa besar keuntungannya dibanding kerugianya? Nah inilah sebetulnya tugas dari think tank pemerintah (Departemen Riset DEpdag, LSM perdagangan, LP3ES, CSIS, LIPI, BPPT dsbnya) untuk bersama-sama mengkajinya secara mendalam.

    Demikian

    Admin

    Suka

  9. Saya adalah orang yang paling anti globalisasi. Khususnya setelah penggagas globalisasi barat bertukar haluan untuk tidak mengambil jalur multilateral sebagai opsi. Pada catatan saya, UE memulai Preferential Trade Agreements sejak tahun 1957″ dengan common market nya amrik bertukar haluan sejak tahun 80-an setelah mengetahui bahwa globalisasi di tingkat multilaral bisa merusak industri nasional dalam negeri AS. Terutama untuk sektor pertanian dan industri padat karya. Hal ini disebabkan karena mereka ternyata tidak bisa memproduksi produk lebih murah dari produk impor kalau mereka membuka pasar.

    Nah sejak itulah, negara-negara lain ikut-ikutan ke arah yang apa disebutkan Bergsten (96) sebagai CL yang disebut-sebut rekan Mersa. Dalam konteks UE, saya rasa hal ini tidak menjadi hal yang baru lagi dan mereka sekarang malah memperlakukan partner dagang secara berbeda. Sedangkan dalam konteks Asia timur, ASEAN dan Indonesia, kita sama-sama tahu bahwa kita sama-sama baru dalam pertandingan liberalisasi ini. Karena baru, maka jangan nyemplung kalau tidak tahu akibatnya.

    Gimana? Ada komentar atau pertanyaan?

    Suka

  10. Comment:

    Dear Kontra Globalisasi,

    Aku rasa kamu salah tentang alasan utama US bertukar haluan. Saya rasa Amrik bertukar haluan bukan karena alasan lain yaitu US merasa frustasi dengan lambanya proses liberalisasi pasar melalui jalur mulilateral (GATT/WTO). Makanya muncul apa yang dinamakan liberalisasi bersaing (CL) oleh Bergsten (sekarang Direktur IIE di US).

    Question:

    1. Bagaimana seharusnya Indonesia memposisikan diri dengan maraknya Preferential Trade Agreement’s ini menurut kamu?

    2. Apa sudah ada semacam think tank yang dibentuk untuk menyikapi perkembangan baru ini?

    3. Apakah indonesia seharusnya aktif atau pasif dalam hal ini?

    May

    Suka

  11. Saya akan coba menjawabnya sebagai berikut:
    1. Indonesia jangan sampai terpengaruh dan ikut-ikutan dalam balap FTA sebelum perjanjian dengan ASEAN telah dikaji untung ruginya. ASEAN mesti diperkuat dulu karena negara-negara anggotanya punya kemiripan dalam hal latar belakang sejarah dan lebih penting sekali level pembangunanya. Harusnya ada komitment bersama anggota ASEAN untuk tidak membuat FTA baru dengan negara di luar ASEAN selain apa yang telah dibuat.
    2. Saya rasa sudah. Namanya bukan think tank tapi working group. Masalahnya anggota working group ini siapa dan bagaimana mekanisme pemilihanya yang tidak jelas.
    3. Kita mesti aktif dalam pengertian secara kontinu mempelajari perkembangan yang ada saat ini tapi tidak aktif membuka pasar yang masih perlu ditutup dulu sampai level pembangunan kita setara dengan partner FTA kita. Jangan aktif tapi merugi.

    Nasionalisme para negotiator sebetulnya hal yang paling dibutuhkan Indonesia dalam hal ini. Bukan negotiator yang diinstal asing untuk mengobrak abrik pasar Indonesia.

    Sekian May (thanks for asking)

    Sekedar mengomentari:

    Point nomer satu sepertinya sudah jadi kenyataan mas.. Dengan ditanda tanganinya ASEAN Charter sepertinya ASEAN secara organisasi makin kuat. Malah ada tuduhan mengkopi “single market” nya UE. Entah iya apa ndak, mari kita tunggu isi charternya. Kelihatanya publikasi “charter” nya masih dirahasiakan tuh. Atau sudah ada yang dapat kopinya? Dibagi dong linknya. Makasih..

    O.N.

    Suka

Tinggalkan komentar